Senin, 15 Oktober 2007

Taubat

TAUBAT TAUBAT

[Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah]

Taubat yaitu : Keluar dari maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk taat

kepada-Nya. Taubat sangat dicintai oleh Allah Azza wa Jalla.

"Artinya : Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan Allah

mencintai orang-orang yang mensucikan diri".

Taubat itu wajib bagi setiap Mukmin.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah

dengan sebenar-benar taubat".

Taubat merupakan penyebab memperoleh kemenangan.

"Artinya : Dan, bertaubatlah kamu kepada Allah semuanya wahai orang-orang yang

beriman, mudah-mudahan kamu memperoleh kemenangan".

Dan kemenangan itu adalah mencapai apa yang dimintanya serta selamat dari yang

ditakutinya. Taubat Nasuha yaitu Taubat yang Allah akan mengampuni semua dosa

dengannya, sebesar dan sebanyak apa pun dosanya ; sebagaimana firman Allah.

"Artinya : Katakanlah ; 'Hai hamba-hambaku yang melampui batas terhadap diri

mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya

Allah mengampuni lagi Maha Penyayang" [Az-Zumar : 53]

Janganlah berputus asa dari rahmat Allah wahai saudaraku yang banyak berbuat

dosa, karena pintu taubat selalu terbuka hingga matahari terbit dari arah barat.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk

menerima taubat orang-orang yang bebuat dosa di siang hari, dan membentangkan

tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa di malam

hari, sampai matahari terbit dari arah barat". [Hadits Riwayat Muslim].

Dan berapa banyak orang yang bertaubat dari dosa besar yang tak terhitung

jumlahnya, Allah menerima taubatnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain berserta Allah

dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar,

dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia

mendapatkan (pembalasan) dosa(nya). (Yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya

pada hari kiamat dan ia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina.

Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh ; maka

kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan, Dan adalah Allah Maha Pengampun

lagi Maha Penyayang" [Al-Furqan :

68-70]

Tuabat Nasuha adalah taubat yang terkumpul di dalamnya 5 syarat.

Pertama.

Ikhlas untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan menunjukkan taubatnya keharibaan

Wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala, untuk mendapatkan pahala-Nya serta selamat dari

adzab-Nya.

Kedua.

Menyesali perbuatan maksiatnya dengan sebenar-benarnya penyesalan serta

berkemauan keras untuk tidak berbuat lagi.

Ketiga.

Segera meninggalkan maksiat. jika ia merupakan hak Allah, maka ia harus

meninggalkannya jika itu perbuatan yang diharamkan serta bersegera menunaikan

jika itu kewajiabn yang ditinggalkan.

Keempat.

Bercita-cita untuk tidak akan kemabli lagi kepada perbuatan maksiat tersebut di

masa mendatang.

Kelima.

Tidak menjadikan taubatnya berhenti sebelum diterimanya yaitu : sebelum

datangnya ajal atau terbitnya matahari dari arah barat.

Allah berfirman.

"Artinya : Dan, tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang

mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di

antara mereka, (barulah) ia mengatakan : 'sesungguhnya saya bertaubat sekarang

..." [An-Nisa : 18]

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Siapa yang bertaubat sebelum terbit matahari dari arah barat, niscaya

Allah terima taubatnya" [Hadits Riwayat Muslim]

Ya Allah berikanlah kepada kami taubat sebenar-benar taubat, dan terimalah semua

amalan kami, sesunguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

[Fatawa Hammah wa Risalah Fii Sifati Sholatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

(Sifat Shalat Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam) Syiakh Muhammad bin Shalih

Al-Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Pustaka Al-Kautsar, hal 69-72]

-------------------------------------------------------------------------

kematian !!! siap menjemput !!!!!

Anda pernah lihat acara ulang tahun?

Jika ya, tentulah yang berulang tahun pada

saat itu kelihatan gembira. Sebenarnya ini adalah sesuatu yang ironis. Jika

seseorang bergembira pada saat jumlah tahun hidupnya bertambah 1 tahun, maka

seharusnya ia bersedih karena jatah hidupnya telah berkurang 1 tahun.

Begitulah, 1 tahun kita lewati hidup ini, 1 tahun pula jatah hidup kita

berkurang. Dan dengan berkurangnya jatah hidup kita, kematian semakin mendekat.

Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman, yang artinya: "Setiap yang berjiwa akan

merasakan kematian, dan tidak akan disempurnakan balasan kamu melainkan pada

hari kiamat." (QS: Ali Imran: 185).

Kematian itu milik semua orang. Dan kematian itu datangnya tiba-tiba. Malaikat

maut yang bertugas mencabut nyawa itu tidak pernah ber-assalaamu'alaikum atau

meimnta permisi pada orang yang akan ia cabut nyawanya. Kita tidak tahu kapan

ia datang, dan jika ia datang pun kita tak bisa menolaknya. Mungkin sebelum

kita selesai membaca tulisan ini, kita sudah dicabut nyawa kita olehnya.

Padahal jika kita mati, babak baru hidup kita pun dimulai. Waktu hidup, kita

bisa mempersiapkan diri untuk hari kiamat, tapi jika sudah mati, kesempatan itu

musnah sudah.

Ketika 'Amr bin Abdu Qais menjelang wafat, ia menangis dan berkata, "Aku

menangis bukan karena takut mati, bukan pula karena ingin hidup senang di

dunia, melainkan karena telah tiba pada satu batas waktu di mana aku tidak bisa

lagi beribadah di siang hari dan shalat tahajud di malam hari."

Sudah waktunya kita untuk segera beramal, jangan sampai kita menyesal. Al-Hasan

berkata, "Mengherankan. Orang masih sempat tertawa padahal di belakangnya ada

kobaran api (neraka), dan masih sempat-sempatnya bersenang-senang padahal

kematian dari belakangnya "

Dalam kenyataannya ada dua macam akhir hidup, yaitu akhir hidup yang baik atau

husnul-khotimah dan akhir hidup yang buruk atau su'ul-khotimah. Husnul-khotimah

adalah akhir kehidupan seseorang yang beriman kepada Alloh dan percaya pada hari

berbangkitnya manusia dengan bermodalkan taqwa. Jadi iman dan taqwa adalah

faktor utama untuk menuju husnul-khotimah. Dan ketaqwaan yang berujud amal

sholih itu adalah wujud dari keimanan. Contoh husnul-khotimah adalah seseorang

yang mati dalam memperjuangkan kalimat Alloh atau sesorang yang akhir amalannya

dalam taat pada Alloh. Rasululloh shallAllohu 'alaihi wa sallam bersabda, yang

artinya, "Siapa saja yang mengucapkan 'Laa ilaaha illaLlaah' pada akhir

hidupnya untuk mencari ridha Alloh , maka ia akan masuk surga. Siapa saja yang

berpuasa pada akhir hidupnya untuk mencari ridha Alloh , maka dia akan masuk

surga. Dan siapa saja yang bersedekah pada akhir hidupnya untuk mencari ridha

Alloh, maka ia akan masuk surga. " (HR: Ahmad V/391).

Ketika hampir wafat, Amir bin Abdullah menangis dan berkata, "Pada saat kematian

seperti ini seyogyanya orang-orang mau mengambil pelajaran agar dapat beramal

sholih. Ya Alloh, hamba mohon ampunanMu atas segala dosa hamba. Hamba bertaubat

dari segala dosa. Laa ilaaha illaLlaah." Begitulah yang ia ucapkan terus menerus

hingga ia meninggal dunia.

Saat hampir wafat, Alla bin Ziyad menangis dan ia ditanya, "Apa yang membuat

Anda menangis?" Ia menjawab, "Demi Alloh, aku ingin menyambut maut dengan

tauba." Orang-orang berkata, "Lakukanlah, semoga Alloh memberi rahmat kepadamu.

"Dia meminta untuk bersuci dan berpakaian baru, lalu ia menghadap kiblat lalu

memberi isyarat dengan kepalanya dua kali dan menelentangkan badan kemudian

meninggal dunia.

Mush'ab bercerita, "(Ketika sakit) Amir bin Abdullah bin Zubair bin Awwam

mendengar suara adzan lalu dengan langkah yang berat -karena sakit- meminta

untuk dituntun dengan berkata," Peganglah tanganku," Dia masuk masjid bersama

imam lalu ruku' sekali, setelah itu ia meninggal dunia.

Sedangkan su'ul-khotimah ialah apabila sewaktu akan meninggal dunia seseorang

didominasi oleh perasaan was-was yang disebabkan keragu-raguan atau keras

kepala atau ketergantungan terhadap kehidupan dunia yang akibatnya ia harus

masuk ke neraka secara kekal kalau tidak diampuni oleh Alloh subhanahu wa

ta'ala. Sebab-sebab su'ul-khotimah secara ringkas antara lain adalah perasaan

ragu dan sikap keras kepala yang disebabkan oleh perbuatan atau perkara dalam

agama yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallAllohui 'alaihi wa sallam,

menunda-nunda taubat, banyak berangan-angan tentang kehidupan duniawi, senang

dan membiasakan maksiat, bersikap munafik, dan bunuh diri.

Ibnu Qayyim menyebutkan dari salah seorang saudagar bahwa seseorang di antara

kerabatnya sebelum meninggal dunia ditalqin untuk mengucapkan kalimat tauhid,

Laa ilaaha illaLlaah. Namun ia justru mengucapkan, "Barang ini murah. Barang

pembelian itu bagus. Yang ini begini, yang itu begitu...." dan begitu

seterusnya hingga ia mati.

Beliau menyebutkan pula bahwa ada seorang lelaki penggemar musik sedang dalam

keadaan kritis lalu ditalqin agar mengucapkan kalimat tauhid, Laa ilaaha

illaLlaah. Tetapi ia justru menyenandungkan lagu, "Naanana...naanana..." hingga

ia mati.

Ibnu Rajab Al-Hambaly mengutip ucapan Abdul Aziz bin Abu Rawwad sebagai berikut,

"Aku pernah melihat seorang lelaki yang dituntun untuk membaca kalimat syahadat

menjelang ajalnya. Namun tragisnya, kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya

adalah kalimat yang justru mengingkari kalimat syahadat, sehingga ia mati dalam

keadaan seperti itu. Ketika kutanyakan siapa dia sebenarnya, ternyata dia

adalah peminum minuman keras" Abdul-Aziz lalu berkata pada para pelayat,

"Takutlah kalian dari berbuat dosa. Sebab dosa-dosa itulah yang mencampakkan

dia seperti itu. "

Ada pula yang tanda-tanda su'ul-khotimahnya tampak setelah si malang mati.

Syaikh Al-Qahthany bercerita, "Pernah aku memandikan mayat. Baru saja kumulai,

mendadak warna kulit si mayat berubah jadi hitam legam, padahal sebelumnya

putih bersih. Dengan rasa takut aku keluar dari tempat memandikan. Lalu aku

bertemu dengan seorang laki-laki. Aku bertanya,"Mayat itu milikmukah ?" Ia

jawab, "Ya," Aku bertanya lagi, "Apa ia ayahmu?" Ia menjawab, "Ya." Aku

bertanya, "Kenapa ayahmu itu sampai begini?" Ia menjawab, "Sewaktu hidupnya ia

tidak sholat." Maka aku katakan kepadanya, " Urusi sendiri ayahmu, dan

mandikanlah ia !"

Ibnu Qayyim berkata, "Abu Abdullah Muhammad bin Zubair Al-Haiany bercerita pada

kami, bahwa suatu hari selepas Ashar ia keluar rumah untuk berjalan-jalan di

taman. Menjelang matahari tergelincir, ia meratakan sebuah kuburan. Tiba-tiba

ia melihat sebuah bola api yang telah menjadi bara dan di tengahnya ada mayat.

Dia usap-usap matanya seraya bertanya pada dirinya, apakah hal ini mimpi atau

kenyataan. Setelah melihat dinding-dinding kota Madinah, ia baru sadar bahwa

hal ini suatu kenyataan.

Dengan rasa takut dan tubuh gemetar, ia pulang. Ketika keluarganya menyuguhi

makanan, ia tidak kuasa memakannya. Setelah cari info ke sana ke mari, akhirnya

diperoleh jawaban bahwa kuburan itu adalah kuburan penguasa yang zalim yang suka

korupsi yang kebetulan mati hari itu."

Kita mohon perlindungan Alloh dari su'ul-khotimah. Kita tidak tahu bagaimana

akhir hidup kita nanti, apakah baik atau buruk. Karena itu hendaknya kita

instropeksi diri terhadap iman dan taqwa kita.

Orang-orang sholih zaman dahulu pun takut akan keburukan akhir hidup mereka.

Sufyan Ats-Tsaury sering menangis sendiri dan berkata, "Aku begitu takut kalau

dalam suratan takdir aku tercatat sebagai orang yang celaka. Atau imanku lepas

ketika akan menghadapi maut."

Ketika ajal hampir menjemputnya, Ibrahim An-Nakha-i menangis seraya berkata, "

Bagaimana aku tidak menangis pada saat aku menanti utusan Tuhanku, apakah

membawa berita bahwa aku ke sorga, ataukah ke neraka ?"

Ketika Abu 'Athi'ah menjelang wafat, ia menangis dan ketakutan. Orang-orang

bertanya, "Mengapa Anda ketakutan?" Dia menjawab, "Bagaimana mungkin aku tidak

takut pada detik-detik seperti ini dan kemudian aku akan dibawa ke mana, aku

tidak tahu. "Begitulah kehidupan orang-orang saleh terdahulu. Walau pun sudah

terkenal kesalehannya, namun tetap saja mereka takut pada su-ul khotimah.

Lalu bagaimana dengan kita? Sudah pantaskah kita untuk tidak merasa takut akan

su'ul-khotimah? Padahal mereka, yang tentu lebih baik agamanya dari kita pun

masih merasa takut akan su'ul-khotimah.

Lalu jika kita ingin mati dengan husnul-khotimah dan tanpa su'ul-khotimah, apa

yang harus dilakukan? Simak hadits ini: Dari Ali bin Abu Thalib radhiyAllohu

'anhu dari Nabi shallAllohu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Setiap diri

yang telah dihembuskan nyawanya, maka Alloh telah menentukan tempatnya di surga

atau di neraka" Lalu ada seorang shahabat yang bertanya, " Ya Rasululloh, kalau

begitu apakah tidak sebaiknya kita pasrah pada apa yang telah ditentukan kepada

kita dan kita tidak usah beramal ?" Rasululloh ShallAllohu 'alaihi wa sallam

bersabda, "Beramallah! Masing-masing akan diberikan kemudahan trehadap apa yang

telah diciptakan untuknya. Adapun yang termasuk orang-orang yang bahagia, maka

Alloh akan memudahkannya melakukan amalan orang-orang yang bahagia. dan adapun

yang termasuk orang-orang yang celaka, maka Alloh akan memudahkannya melakukan

amalan orang-orang yang celaka. "Kemudian beliau membaca firman Alloh: "Adapun

orang-orang yang memberikan (hartanya pada jalan Alloh) dan bertaqwa, dan

membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan

baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya

cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami kan menyiapkan

baginya (jalan) yang sukar [QS: Al-Lail: 5-10]" (HR: Al-Bukhary dan Muslim)

Begitulah jawabannya. Tetap saja kita diperintahkan untuk beramal sholih,

walaupun celaka atau bahagianya kita telah ditentukan sejak kita masih di rahim

ibu. Sebab siapa saja yang bertaqwa dan beriman, Alloh akan memudahkan beginya

jalan menuju bahagia. Dan tentu saja kita juga harus menjauhi amal-amal buruk

agar Alloh menghindarkan kita dari jalan yang celaka.

Tentu saja, beramal sholih dan menjauhi maksiat itu ada cara-cara yang jitu

untuk melakukannya. Siapa yang mengetahui cara-cara tersebut dan menerapkannya

dalam kehidupan tentu ia akan bahagia. Maka sudah sewajarnya kita

berlomba-lomba mencari tahu cara-cara tersebut lewat bertanya, membaca

buku-buku agama, dan tentu saja dari materi-materi di majelis pengajian.

(Sumber Rujukan: Berbagai Sumber)


Rabu, 10 Oktober 2007

Biografi Ulama

Biografi Imam Syafi’i
Penyusun: Ustadz Arif Syarifuddin
Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber:
Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
Siyar A‘lam an-Nubala’
Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon
(Sumber: Majalah Fatawa)